"Ngaco sekali anak ini, sms tidak jelas sepagi ini." batinku. Kesadaranku belum pulih benar akibat semalam begadang belajar dan tidur yang tak nyenyak memikirkan tugas-tugas.
Ku balas sekedarnya "ayah sp?"
Satu lagi sms masuk, kali ini dari Adib,"inalillahi wa inaillaihi rojiun. Telah meninggal dunia ayah cyti".
"hah", kaget dan tercengang, tak tahu apa yang harus ku lakukan.
Sebuah sms balasan dari siti masuk "ku"
Ku balas dengan polosnya, "inalillahi, beneran?? kapan?"
"td"
Berita yang sangat mengejutkan di pagi itu, pasalnya baru seminggu yang lalu aku datang ke rumah Siti untuk menengok ayah dan ibunya yang baru pulang haji. Di hari minggu yang cerah itu, beliau menyambut kedatanganku dan Dewi dengan hangat. dengan baju koko putihnya, beliau bercerita tentang pengalamannya selama menunaikan ibadah haji. Beliau juga menasihati kami, "Saya hanya manusia, tempat meminta itu Gusti Allah, saya hanya perantaranya, saya hanya bisa mendoakan mbak. Belajar yang benar, usaha dan doa jangan pernah putus, dan satu lagi jangan pacaran. Anak saya yang besar tidak pacaran, alhamdulillah lulus dengan nilai yang baik, IPnya 3,6. Pacaran itu hanya membawa dosa, lebih baik fokus pada kuliah dan masa depan. Kunci sukses di masa depan itu adalah ilmu, jika ilmu sudah di tangan, insyaAllah semuanya akan mudah untuk dijalani. Dan juga, kalo besok sudah menikah, jangan lupa rencanakan untuk naik haji."
Tak pernah kusangka, itu adalah nasihat dan pertemuan terakhirku dengannya.
***
Jam 11 siang aku berangkat menuju rumah Siti bersama Dewi dan Adib. Sesampainya di sana, ternyata sudah ada Ames, Heri, Nurma, Endang dan mbak Dona. Kulihat Siti yang duduk di antara teman-teman, segera menyambut kedatanganku dan Dewi. Dewi langsung memeluknya, sementara aku hanya menyalami sambil tersenyum. Entah mengapa, aku tak bisa melakukan apa yang Dewi lakukan. Bukan tak mau, tapi aku tahu pasti, itu takkan membuatnya kuat namun akan membuatnya semakin rapuh.
"Meninggalnya tadi malam? Di rumah sakit?" tanyaku.
"Iya, semalam bapak batuk-batuk terus. Lalu dibawa ke rumah sakit jam 3 pagi. Saat akan ke rumah sakit, beliau masih bisa berjalan sendiri, mengambil sandalnya. Dulu juga pernah seperti ini, bahkan lebih parah yang dulu. Jika tadi masih bisa berjalan sendiri, dulu beliau harus dipapah karena tak bisa berjalan."
"Siapa yang ikut ke rumah sakit waktu itu?"
"Aku dan mbakku di rumah. Setelah subuh, aku tanya ke mbakku, siapa yang mau menyusul bapak ke rumah sakit. Dan mbakku yang mau ke sana, tapi beberapa saat kemudian, ada orang yang mengetuk pintu depan. Saat itu aku di dalam kamar, mbakku yang membukakan pintu. Terdengar suara orang itu berkata 'sek sabar yo', aku langsung menangis saat itu. Ayah telah pergi. Beberapa saat sampai di rumah sakit dan sempat masuk UGD untuk diberi oksigen, namun tak tertolong. Semua berjalan begitu cepat. Semoga mendapat tempat terbaik di sisi-Nya."
***
Sepulang kuliah aku rebahkan badan di atas tempat tidur. Hari selasa yang melelahkan. Tiba-tiba sebuah sms masuk dari siti, "Semalam gak bisa bobo. Gimana caranya biar bisa bobo nyenyak?""Iya, dulu aku awalnya juga susah. Aku tahu rasanya kehilangan Sit, kamu cuma belum terbiasa aja"
"Tapi susah banget buat tidur. Takut takut gimana gitu. Kamu gak takut?"
"Takut kenapa?" tanyaku.
"Rasa-rasanya dia masih ada di sini. Seolah aku masih mendengar suara sarungnya saat dia berjalan."
"Takut disamperin gitu?"
"Ya semacam itulah. "
"Kenapa harus takut, mereka orangtua kita. Kalo aku selama ini cuma ditemuin lewat mimpi. Lagian juga udah 7 tahun, hampir semua tentang ibu aku sudah lupa. Cuma kalo liat temen sama ibunya aja bikin aku inget sama ibuku, rasanya pengen nangis"
"Gimana caranya biar lupa? Biar bisa bobo nyenyak"
Membaca sms kali ini, membuatku tergiang akan suata malam 7 tahun yang lalu. Malam pertama dimana aku 'hidup' tanpa seorang ibu. Malam yag memilukan ketika mendengar adikku yang kala itu berusia 4 tahun menangis di tengah malam memanggil-manggil nama ibu.
Kubalas sms itu, "Mereka bukan buat dilupakan, namun untuk kita kenang. Buat saja tulisan-tulisan tentang kenangan kamu dan dia, rasanya pasti plong."
Yah, mereka bukan untuk dilupakan, karena sekuat apa kamu mencoba melupakannya, mereka akan tetap hidup di hati kita. Mereka hanya untuk kita kenang atas segala kejadian-kejadian indah yang yang pernah kita lewati bersama.
***
Aku tahu rasanya kehilangan, aku tahu rasanya kesepian, aku tahu rasanya dihinggapi oleh bermacam-macam ketakutan-ketakutan itu.Tapi, sadarkah kamu kawan, di balik semua ini kelak kamu akan belajar untuk menjadi orang yang kuat. Kuat untuk berdiri sendiri tanpa hadirnya seorang ayah, kuat untuk menjalani kehidupan yang keras ini. Karena, mau tidak mau, kita dan mereka pasti akan terpisahkan oleh maut. Untuk itu, kita harus mempersiapkan hati jika suatu saat mereka meninggalkankan kita. Dengan itu, kamu akan belajar untuk menghargai setiap detik pertemuan, tak kan pernah menyia-nyiakan sebuah kebersamaan. Dengan ini juga dulu aku belajar. Belajar untuk menjadi orang yang kuat. Belajar untuk tidak bergantung pada orang lain, belajar menghadapi segala macam kepayahan hidup. Aku juga belajar untuk tidak menyia-nyiakan setiap detik pertemuan, maka aku ingin membuat mereka bangga selagi bisa.
Tuhan menginginkan kita tumbuh dewasa dengan cara seperti ini, tanpa orangtua, agar kita belajar untuk menjadi orang yang kuat. Tuhan menghadirkan rasa kehilangan dan ketakukan ini agar kita lebih menghargai setiap detik pertemuan dengan orang-orang terkasih.
Taukah kamu, ada yang kubenci saat mendatangi takziah seperti ini. Aku benci kembali mengenang masa-masa pahit itu. Aku benci untuk kembali merasakan kehilangan. Aku benci harus membuka luka lama yang selama ini kucoba untuk menguburnya dalam-dalam. Aku benci semua itu. Tapi inilah kehidupan, kita tak pernah tahu apa yang menjadi garis takdir hidup kita. Yang aku tahu, inilah cara Tuhan mendewasakanku.
Jangan bersedih kawan, ada aku di sini. Aku tahu apa yang kamu rasakan saat ini, karena aku tahu rasanya kehilangan...
Rabu(21.12.2011)
09.00 AM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar