Pagi itu aku berlari tergopoh-gopoh menaiki tangga menuju lantai 3 fak. MIPA. Seperti biasanya, pagi itu aku melakukan ritual rutin sebelum masuk kelas, ke WC. Bukannya ingin buang hajat atau apa, sekedar ngaca membetulkan letak kerudung dan berbicara seorang diri sejenak, apakah sudah pas kostum yang ku pakai pagi itu. Setelah melaksanakan ritual aku menuju kelas di 301, tidak berlari. Aku berjalan dengan santainya, begitu juga saat membuka pintu kelas. Ternyata bu Sukarni sudah berdiri di depan kelas menjelaskan tentang apa itu Inquiry. Aku duduk di bangku paling belakang, ya paling belakang karna di deretan itu hanya ada aku. Ini berarti aku mahasiswa yang datang paling akhir. Ku lihat jam di tangan, 07:22. "telat lagi, selalu saja telat" gumamku. Hampir setiap hari aku telat masuk kelas. Kebiasaan ini sudah melekat sejak SMP. Seperti pagi itu, aku berlari menaiki tangga kelas 3E. Hari itu ada les pagi, seperti hari biasanya aku pasti terlambat. Meskipun rumahku tergolong dekat dengan sekolah, entah mengapa aku selalu terlambat, mungkin ini salah satu penyakitku yang sudah tergolong akut, mustahil untuk disembuhkan. Sampai di kelas, les sudah dimulai, kursi-kursi sudah penuh terisi, hanya tersisa di deretan depan saja. Entah mengapa meskipun aku terlambat aku sering dapat kursi di deretan depan, yap mungkin ini hanya terjadi di Indonesia saja. Berbeda dengan seorang temanku yang rajin berangkat pagi meskipun rumahnya jauh, Hermawan. Nama yang cukup pendek, sependek badannya waktu itu namun jangan tanya lagi tinggi badannya sekarang, aku kalah jauh. Selain rajin berangkat pagi, Hermawan menjadi satu-satunya penghuni 3E yang rajin bertanya. Setiap pelajaran apapun, guru siapapun dia pasti bertanya. Mungkin jika ada hari anti bertanya, dia lah orang yang paling menderita karna tidak bisa mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang berjejal begitu banyak di otaknya. Terlepas dari itu, Hermawan orang yang supel, ramah, pinter dan baik.
Berbicara tentang SMP, aku punya seorang teman cewek yang mempunyai kebiasaan tidak wajar selayaknya yang lain. Riska, begitu ia di panggil. Kebiasaan tak wajar yang pernah aku lihat adalah ketika ia menangis pagi-pagi di tempat biasa kami nongkrong. Pagi itu seperti biasa sebelum bel masuk, aku dan teman-teman bermainku biasa berkumpul di sebuah lorong belakang aula dekat ruangan Pak Muhadi waktu itu. Saat aku datang, aku melihat Riska duduk membelakangi teman-teman menghadap pohon Kelengkeng dengan menangis sesegukan. Saat itu ia memakai kerudung biru yang diikat begitu saja seperti layaknya para bakul tahu di pasar. Masih terbayang saat ia menangis dan mengelap air matanya dengan kerudung birunya itu. Bukan menjadikanku iba ato menaruh simpati padanya, aku malah merasa itu hal yang lucu, sangat lucu. Sambil menahan tertawa aku bertanya pada teman-teman yang sedari tadi sudah berkumpul di sana. Ternyata ia baru saja patah hati. Mungkin malamnya ia belum sempat menangis, dan baru paginya ia mempunyai waktu untuk mengeluarkan air matanya itu dan itu ia lakukan di sekolah.
Teman sepermainanku lainnya adalah ABC. Awal mula ia dipanggil ABC karna badan kecilnya yang tidak masuk dalam kategori ABG, tapi kini saat umurnya memasuki usia ABG tetap saja ia belum pantas dipanggil ABG, masih ABC. Orangnya kecil, centil dan ngeyil. Satu yang ku ingat adalah ketika aku dan Ratih menghadiahinya sebuah celengan keramik kodok berwarna hijau. Dengan kartu ucapan yang tidak jelas, hanya satu dua huruf yang tertulis di sana selebihnya tanda titik dan tanda tanya. Aku yakin dia tidak paham dengan maksud yang tertulis di kertas itu. iyalah, karna aku dan Ratih sang penulis kartu itu pun kalo ditanya apa isinya pasti tidak dapat menjawabnya.
Seorang temanku yang menyandang gelar Profesor saat SMP adalah bu Profesor Nobita. Sama halnya dengan ABC, orangnya kecil. Ciri khas darinya adalah kacamata dan topi. Kemana-mana selalu memakai kacamata, yah untuk yang satu ini bisa dimaklumi karna banyak anak yang memakai kacamata saat istirahat sekolah. Tapi kalo memakai topi kemana-mana saat istirahat, ini tidak bisa dimaklumi, sangat tidak wajar apalagi topi yang dipakai adalah topi bertuliskan SMP 1 SLEMAN. Yah berpikir positif saja, mungkin bu profesor saking bangganya dengan almamater sampai-sampai kemana-mana memakai topi SMP 1 SLEMAN. Satu yang aku takutkan, jangan-jangan bu Profesor juga memakai seragam ber-emblem SMP 1 SLEMAN saat dia akan pergi ke tukang pijat.
Seandainya di akhir tahun kelulusan ada anugerah untuk orang paling galak selama sekolah di SMP 1 SLEMAN, maka Dhayu Dwi Purnamasari lah yang akan menerimanya. Ke-galakannya terlihat saat ia menjabat sebagai ketua kelas 3E. Setiap ada acara bersih-bersih kelas dia pasti marah-marah dengan muka yang sudah tidak bisa dibedakan lagi antara muka dengan semangka, merah menyala dengan mata berapi-api. Kasihannya, saat dia marah-marah karna tidak ada yang mengerjakan tugas bersih-bersih, teman-teman yang lain malah melarikan diri dari semburan mautnya, termasuk aku. Ada satu kejadian lagi yang lucu yang aku ingat dari Dhayu. Saat itu masa-masa awal masuk sekolah, banyak anak yang naik sepeda ontel, termasuk Dhayu. Di suatu sore saat pulang sekolah, ku lihat Dhayu menuntun sepeda onthelnya. 'Ada apa yu?'tanyaku waktu itu. 'Banku kempes, siapa yang ngempesin ya? Padahal tadi pagi tidak apa-apa' jawabnya dengan muka memelas mau menangis. Karena merasa kasihan aku ikut mengantarkannya ke bengkel kecil milik pak .....(sory aku lali jenenge cah). Saat menunggu sepedanya di pompa, aku melihat muka Dhayu sangat-sangat amat melas sekali. Dengan menyandang tas berwarna orange yang terlihat sangat 'lethek' semakin menambah ke-melasannya sore itu.
Teman SMP yang hingga kini masih sering bermain bersamaku adalah Putri. Yang kuingat dari Putri saat SMP adalah ketika ia ngompol saat ujian. Waktu itu Putri ujian 1 ruangan denganku di kelas 3E. Aku duduk paling depan sedangkan ia duduk paling belakang. Saat ujian sudah selesai, ku lihat putri masih betah duduk manis di kursinya. Kemudian banyak orang mengerubunginya, aku menjadi penasaran. Saat aku mendekat Putri malah menangis dan masih tetap berada di kursinya. Ternyata eh ternyata, dia ngompol. Aku tak tahu apa alasan di ngompol waktu itu, apa saking takutnya melihat soal ujian ato gara-gara melihat guru pengawas yang kiler?? Mungkin dia takut untuk meminta ijin ke belakang waktu itu, ya maklum saat itu masih kelas 1 awal jadi masih takut untuk bilang ini itu. Peristiwa lain yang ku ingat adalah kebiasaan Putri sepulang sekolah menanti pacarnya yang waktu itu sekolah di SMP 2 SLEMAN. Bukan menantikannya menjemput Putri di sekolah, melainkan menantikan lewatnya dia bersama kol tuyul.
Ke empat temanku (ABC, Profesor Nobita, Riska, dan Putri) adalah penunggu setia kol tuyul. Meski menunggu berjam-jam mereka tidak pernah putus asa, sungguh mereka lah contoh orang-orang yang sabar. Namun pernah suatu kali, kol tuyul itu tidak datang-datang setelah 2 jam ditunggu. Entah karena sopirnya demo atau sopirnya lagi piknik bareng keluarganya, aku tak tahu. Karena lelah menunggu ke empat anak manusia ini memutuskan untuk jalan kaki sekedar 'nyicil' sembari menunggu kol tuyul itu lewat. Tapi apa yang terjadi, kol tuyul itu tak kunjung lewat sampai mereka tiba di rumah masing-masing. 2 jam mereka jalan kaki menempuh jarak 6 km (ho o udu yo??? ah ra reti aku rung tau ngukur dalan e). Hebat, ku acungi 4 jempol buat kalian, silakan ambil satu-satu jempolnya.
Next, temen seperjuanganku bernama Ratih. Rumahnya yang tidak jauh dari rumahku, membuatku pulang dan berangkat bareng Ratih. Pagi-pagi kami menunggu di pinggir jalan yang dulunya dekat warung sayur Surami. Kadang aku yang menunggunya, kadang Ratih yang menungguku, setelah itu berangkatlah kami menuju sekolah naik angkot. Pulang sekolah, aku terkadang jalan kaki bersama Ratih melewati sungai Nyo. Pernah suatu kali saat berjalan kami tunggang langgang lari terbirit-birit karena orang gila. Sebenarnya orgil itu tidak mengejar atau pun menggoda kami. Hanya saja ia tiba-tiba muncul di balik pagar, saat itu aku yang berjalan di belakang Ratih langsung lari terbirit-birit dengan 'nyincing' rok sampai lutut, waktu itu aku memakai rok panjang. Ratih yang saat itu bingung karena melihatku lari sambil 'nyincing' rok terheran-heran. Saat itu aku memang tidak memberitahu Ratih kalo di belakang kami ada orang gila yang muncul dari balik pagar dan melambaikan tangannya pada kami. Karena bingung Ratih pun menengok ke belakang, setelah mengetahui ada orang gila di belakangnya ia pun ikut lari. Kali ini larinya sangat cepat bahkan menyalip dan meninggalkanku di belakang. Entah mengapa saat-saat genting seperti itu kakiku rasanya berat untuk dipakai berlari.
Teman yang menurutku paling 'aneh' saat SMP adalah Hamik. Entah kenapa aku menyebutnya aneh, mungkin karena dia sering tertawa sendiri tanpa sebab. Yang ku ingat dari teman 'aneh' ku ini adalah tulisannya yang besar-besar. Mungkin saat itu ia bercita-cita menjadi orang besar hingga ia pun menulis dengan huruf yang besar-besar (hemm oke saya tau ini tidak nyambung). Hamik ini tergolong orang yang 'ngintilan', kemana saja kami pergi dia pasti mengikuti, tidak pernah protes. Mungkin kalo kami terjun ke jurang pun ia akan ikut terjun. Hanya sedikit yang ku ingat darinya saat SMP, bahkan bisa dikatakan tidak ada.
Satu moment yang sampai saat ini masih aku ingat ketika kami bersekolah di MI AL-IHSAN. Aku lupa waktu itu kami duduk di kelas 3 atau 4, sepertinya 3 karena waktu itu pelajarannya pak Jupri. Saat pelajaran terakhir, aku dan Hamik duduk di kursi paling belakang. Waktu itu Hamik ingin meminjam pensilku, tapi tak ku beri padahal aku punya banyak pensil waktu itu (pensil e cebol2 warna putih, kelingan ra???). Dasar aku pelit dan Hamik terus memaksa, maka terjadilah perdebatan kecil. Tidak ada yang mau mengalah, aku kekeuh tidak mau meminjamkannya, Hamik pun terus ngotot meminjam. Sampai-sampai bel pulang berbunyi, ya bel itu yang melerai perdebatan kami siang itu. (Dingapuro yo mik aku pelit banget pas kui, maklum jeh cilik)
Restu, teman SMP yang kini juga menjadi teman kuliahku di pend.IPA UNY. Restu SMP berbeda dengan Restu yang sekarang. Restu SMP adalah Restu yang culun, rambut terurai belah tengah tanpa poni lagi, baju yang dikancing sampai atas, rok yang dipakainya tinggi-tinggi di perut dengan sabuk hitam menempel di sana. Restu yang dulu sabar, pendiam, rajin, dan murah senyum. Berbeda dengan Restu sekarang yang telatan, sering mengerutu, malas mencatat materi kuliah hobine fotokopi catetan (koyo aku). Terlepas dari itu Restu sekarang sudah agak gaul tidak culun lagi seperti dulu. Bahkan cara berpakainnya pun tergolong metal, rok panjangnya dibuat lubang di bagian lutut, sungguh anak yang gaul sekali.
Aku. Entah perubahan apa yang sudah terjadi padaku dari SMP hingga kini. Yang pasti penyakit 'telatan'ku itu tidak sembuh-sembuh hingga kini.. Dan mungkin hingga nanti......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar