Di
suatu sore yang cerah, aku, Hasan dan Rani pergi ke mirota kampus untuk membeli
kado. Yah, seorang sahabat kami, Anita Rohmah atau biasa dipanggil ‘Mak e’ akan
berulang beberapa hari lagi. Di pintu masuk utama Mirota Kampus, sekilas ku
lihat satpam berbicara dengan seseorang. Kuacuhkan saja, kupikir itu adalah hal
biasa, aku pun kemudian mengajak Hasan dan Rani naik eskalator. Namun, karena
nada bicara satpam yang keras memaksaku untuk menengok ke belakang, melihat apa
yang terjadi. Sebuah pemandangan yang membuatku tercengang, seorang bapak tua
yang penglihatannya tidak normal, membawa tongkat lipat di tangan kirinya, dan
kumpulan kemoceng yang diikatkan di tas bututnya. Pemandangan yang membuat iba
siapa saja yang melihatnya. Di sini hatiku mulai gusar dengan pemandangan yang
ada di depan mataku sore itu.
“Di
atas pak. Bagaimana ke sananya pak?’ tanya satpam kepada bapak tua yang berusia
sekitar 70 tahunan itu.
“Owh
kalo gitu tidak usah saja mas, saya keluar saja” kata bapak itu sembari bersiap
untuk pergi.
“Sebentar
Pak, saya carikan seseorang untuk menemani bapak ke atas”.
***
Di lantai 3, aku dan Rani melihat
pernak-pernik dan aksesoris, sementara Hasan melihat buku-buku. Kami masih
bingung akan memberikan kado apa pada Mak’e. Setelah tak mendapat kado yang
tepat, kami berkumpul bertiga.
“Wah
beliin apa ya Mak’e?” tanyaku.
“Kita
beliin kosmetik aja gimana, biar Mak’e bisa dandan” timpal Rani.
“hahahaha....”
kami tertawa bersama.
“Jadi harga blendernya 165 ribu ya
mas?” Bapak tua yang tadi ku lihat di lantai bawah, tiba-tiba melintas di
hadapanku, Hasan, dan Rani.
“Iya Pak” jawab seorang petugas toko
sambil menuntun bapak Tua.
Kami pun terdiam.
“Kasian
ya bapaknya” kataku.
“Iya,
pasti ingin membelikan blender itu untuk istri atau anaknya”
“Iya
kasian” tambah Rani.
“Trus???
Kita hanya diam saja melihat itu semua?” tanyaku.
“Lha
trus gimana?” tanya Hasan.
“Kita
bantulah. Ayo kita susul bapak itu”. ajakku.
“Iya
ayo, kita gak bantu langsung.Sepertinya
bapak tadi jualan kemoceng, jadi kita beli kemocengnya saja.” timpal Hasan.
***
Sesampainya
di lantai bawah, aku melihat Bapak itu di depan pintu utama. Pemandangan kali
ini lebih membuatku trenyuh melihatnya. Bukan hanya kemoceng yang di bawanya, ternyata
ada sapu dan beberapa keset yang diikatnya menjadi satu dan di taruh di atas
kepala. Kami lagi-lagi terdiam, terbungkam melihat bapak tua itu.
Bapak
itu kemudian pergi membeli minum di
samping pintu utama masuk. Yah, mungkin bapak itu terlampau lelah dan haus seharian
mencari nafkah di tengah hiruk pikuknya kota Jogja.
“Kita
bantunya kalau bapaknya sudah keluar dari sini saja. Di sini ribet, terlalu
bising dan banyak orang” kataku.
“Iya,
kalian di sini ya, kalo bapak itu pergi kalian ikuti dulu saja. Aku ingin
membelikan kue untuk bapak itu, sepertinya beliau lapar” kata Hasan.
***
Ketika
akan pergi, bapak tua itu menjulurkan tongkat lipatnya. Benda inilah yang
selama ini membantunya menunjukkan jalan.
“Eh,
itu bantuin bapaknya” kataku pada Hasan.
Bapak itu akan keluar dari kompleks
Mirota Kampus, karena penglihatannya
yang tidak normal, membuatnya menabrak motor-motor yang diparkirkan
berjejer.
“Bapak mau kemana?” tanya Hasan.
“Mau
pulang Mas”jawab bapak tua.
“Ke
arah mana Pak? Kami antar.”
“Tolong
saya dibantu menyeberang saja nak”
“Oh
ya pak, mari kamibantu, keset dan sapunya biar saya bawakan pak”.
“Tidak
usah Mas”
“Tidak
apa-apa Pak”.
Aku
dan Rani menuntun bapak tua itu menyeberang, sementara Hasan membawa keset dan
sapu.
“Terima
kasih ya Nak”
“Iya
pak, sama-sama” jawab Rani.
“Tadi bapak membeli apa di toko?” tanyaku.
“Blender
mbak untuk istri dan anak bapak, tapi kok ya uangnya kurang. Kurang 4ribu
hehehe....” jawabnya sambil tertawa.
“4ribu????”
kami bertiga berpandangan.
“Ya
tidak apa-apa nak, besok saja belinya, nanti kalau bapak paksain beli malah gak
bisa pulang hehe...”
Lagi-lagi
kami terdiam.
“Rumahnya
dimana pak?”
“Jalan
Parangtritis Mas”
“Wah
jauh ya pak, naik apa pak pulangnya?”
“Naik
bis jalur 2 mas”
Kami
duduk di pinggir jalan, meneruskan perbincangan dengan bapak tua itu.
“Kemocengnya
berapa pak harganya?” tanyaku.
“15
ribu mbak”
Kami
pun memutuskan membeli 3 kemoceng dengan harga yang lebih dari yang bapak tawarkan
itu.
“Ini
Pak, kami membeli 3”
“Oh
ya, terimakasih Nak” bapak itu segera membuka tas dan mengeluarkan sebuah
kantong plastik, ia menyimpan uang-uang itu di sana.
“Tadi
bapak habis bayar listrik juga nak, jadi ya tidak cukup untuk membeli blender.
Anak saya kan banyak mas, apalagi anak saya yang kuliah kan butuh komputer,
belum lagi yang SMA, jadi listriknya habis banyak”
“Owh,
kuliah di mana pak?”
“Di
Akindo mas, ya biar anak saya tidak jadi orang susah seperti bapaknya ini, jadi
ya sebisa mungkin saya kuliahkan”
“Ini
mas sama mbaknya kuliah di UGM?”
“Di
UNY pak”
“Sudah
sampai di sini saja mas, saya mau nunggu bus jalur 2 sambil istirahat, gak usah
ditemenin, kalo mas sama mbaknya mau pergi gak apa-apa”.
“Tidak
pak, ini kita cuma jalan-jalan kok”
“Biasanya nunggu bisnya dimana pak?”
“Biasanya di dekat Panti Rapih mbak”
“Yasudah ditunggu di sana saja, mari
kami antarkan pak. Ini saya bawakan lagi ya pak” kata Hasan.
Aku
dan Rani menuntun bapak itu berjalan dan menyebarang sampai depan rumah sakit
Panti Rapih.
Kami menunggu cukup lama di depan Panti
Rapih.
“Kalo
tidak ada bapak biasanya naik Transjogja sampai Pojok Beteng nak”
“Lalu
dari Pojok Betengnya naik bis lagi pak?”
“Iya,
kalau tidak becak ya andong, kan nanti banyak yang pulang dari Malioboro,
sekitar jam 9an. Kalo tidak yang nanti saya suruh anak saya buat jemput”
Bapak
tua itu mengeluarkan sebuah hp kemudian meraba mencari tombol di sebelah kanan
bawah yaitu angka 9 dan mendekatkannya ke telinga. Terdengarlah sebuah suara
dari hp tersebut.
“Saat
ini pukul 17.26.”
“Masih
setengah 6 kok Nak, bisnya masih ada. Sebentar lagi pasti lewat.”
Rupanya
bapak itu membawa hp untuk mengetahui waktu, agar ia tidak pulang terlambat dan
tertinggal bis jalur 2.
***
Setelah
menunggu beberapa saat, lewatlah bus jalur 2. Hasan menghentikan bis tersebut,
namun pak sopir mengatakan jika ia tidak lagi mengangkut penumpang karena akan
pulang ke garasi.
“Apa
naik transjogja saja pak?” tanyaku.
“Ya,
naik trans juga tidak apa-apa nak”
Hasan
kembali memikul sapu dan keset, aku dan rani menuntun bapak itu berjalan menuju
shelter Transjogja terdekat.
***
“Mbak, satu ya, jurusan ke Pojok Beteng untuk
bapak itu” kata Hasan kepada penjaga shelter Transjogja.
“Kami
pulang ya pak” kata hasan sambil mencium tangan.
“Semoga
dagangannya laris, dan bisa membelikan blender untuk anak dan istri bapak’ kataku
sambil mencium tangannya.
“Iya
pak pamit dulu” kata Rani.
Kami meninggalkan bapak tua itu di
shelter Transjogja. Sore itu kami memang tidak mendapatkan kado ulangtahun
untuk Mak’e, tetapi kami mendapat pelajaran yang sangat berharga dari seorang
bapak tua pedagang kemoceng. Hari itu, Tuhan mempertemukan kami, membuka mata
hati kami agar senantiasa bersyukur dengan apa yang kami miliki. Seperti bapak
tua yang tak pernah lelah untuk berjuang demi menghidupi keluarganya. Berdagang
kemoceng dan sapu dari Bantul ke pusat kota Jogja, meski dengan keterbatasan
dalam penglihatannya.
Aku
menyimpan kemoceng yang kubeli dari bapak itu di kamarku, sengaja kugantungkan
di sudut kamarku agar aku selalu mengingat pertemuan sore itu. Pertemuan dengan
bapak tua yang bersahaja itu menjadi pengalaman tak terlupakan dalam hidupku.
***
#Sumber Gambar : Google
Subhanalloh ya mas...
BalasHapusRizqi dan kesehatan semoga tetap tercurahkan kepada bapak itu. Amin ya rob
Hak hak,,, Kowe diundang 'mas' mut,,,, haha...
BalasHapusKomentar mu tentang kosmetik ki lho,,, kok mak jleb...
Baca Juga: www.blogevan.com
BalasHapusBaca Juga: halodoc
Baca Juga: withoutimage.xyz