Jumat, 05 Juli 2013

Bapak Tua




Di suatu sore yang cerah, aku, Hasan dan Rani pergi ke mirota kampus untuk membeli kado. Yah, seorang sahabat kami, Anita Rohmah atau biasa dipanggil ‘Mak e’ akan berulang beberapa hari lagi. Di pintu masuk utama Mirota Kampus, sekilas ku lihat satpam berbicara dengan seseorang. Kuacuhkan saja, kupikir itu adalah hal biasa, aku pun kemudian mengajak Hasan dan Rani naik eskalator. Namun, karena nada bicara satpam yang keras memaksaku untuk menengok ke belakang, melihat apa yang terjadi. Sebuah pemandangan yang membuatku tercengang, seorang bapak tua yang penglihatannya tidak normal, membawa tongkat lipat di tangan kirinya, dan kumpulan kemoceng yang diikatkan di tas bututnya. Pemandangan yang membuat iba siapa saja yang melihatnya. Di sini hatiku mulai gusar dengan pemandangan yang ada di depan mataku sore itu.

“Di atas pak. Bagaimana ke sananya pak?’ tanya satpam kepada bapak tua yang berusia sekitar 70 tahunan itu.
“Owh kalo gitu tidak usah saja mas, saya keluar saja” kata bapak itu sembari bersiap untuk pergi.
“Sebentar Pak, saya carikan seseorang untuk menemani bapak ke atas”.
***

            Di lantai 3, aku dan Rani melihat pernak-pernik dan aksesoris, sementara Hasan melihat buku-buku. Kami masih bingung akan memberikan kado apa pada Mak’e. Setelah tak mendapat kado yang tepat, kami berkumpul bertiga.
“Wah beliin apa ya Mak’e?” tanyaku.
“Kita beliin kosmetik aja gimana, biar Mak’e bisa dandan” timpal Rani.
“hahahaha....” kami tertawa bersama. 
            “Jadi harga blendernya 165 ribu ya mas?” Bapak tua yang tadi ku lihat di lantai bawah, tiba-tiba melintas di hadapanku, Hasan, dan Rani.
            “Iya Pak” jawab seorang petugas toko sambil menuntun bapak Tua.
            Kami pun terdiam.
“Kasian ya bapaknya” kataku.
“Iya, pasti ingin membelikan blender itu untuk istri atau anaknya”
“Iya kasian” tambah Rani.
“Trus??? Kita hanya diam saja melihat itu semua?” tanyaku.
“Lha trus gimana?” tanya Hasan.
“Kita bantulah. Ayo kita susul bapak itu”. ajakku.
“Iya ayo,  kita gak bantu langsung.Sepertinya bapak tadi jualan kemoceng, jadi kita beli kemocengnya saja.” timpal Hasan.
***

Sesampainya di lantai bawah, aku melihat Bapak itu di depan pintu utama. Pemandangan kali ini lebih membuatku trenyuh melihatnya. Bukan hanya kemoceng yang di bawanya, ternyata ada sapu dan beberapa keset yang diikatnya menjadi satu dan di taruh di atas kepala. Kami lagi-lagi terdiam, terbungkam melihat bapak tua itu.
Bapak itu kemudian pergi  membeli minum di samping pintu utama masuk. Yah, mungkin bapak itu terlampau lelah dan haus seharian mencari nafkah di tengah hiruk pikuknya kota Jogja.
“Kita bantunya kalau bapaknya sudah keluar dari sini saja. Di sini ribet, terlalu bising dan banyak orang” kataku.
“Iya, kalian di sini ya, kalo bapak itu pergi kalian ikuti dulu saja. Aku ingin membelikan kue untuk bapak itu, sepertinya beliau lapar” kata Hasan.
***
           
Ketika akan pergi, bapak tua itu menjulurkan tongkat lipatnya. Benda inilah yang selama ini membantunya menunjukkan jalan.
“Eh, itu bantuin bapaknya” kataku pada Hasan.
            Bapak itu akan keluar dari kompleks Mirota Kampus, karena penglihatannya  yang tidak normal, membuatnya menabrak motor-motor yang diparkirkan berjejer.
            “Bapak mau kemana?” tanya Hasan.
“Mau pulang Mas”jawab bapak tua.
“Ke arah mana Pak? Kami antar.”
“Tolong saya dibantu menyeberang saja nak”
“Oh ya pak, mari kamibantu, keset dan sapunya biar saya bawakan pak”.
“Tidak usah Mas”
“Tidak apa-apa Pak”.
Aku dan Rani menuntun bapak tua itu menyeberang, sementara Hasan membawa keset dan sapu.
“Terima kasih ya Nak”
“Iya pak, sama-sama” jawab Rani.
            “Tadi  bapak membeli apa di toko?” tanyaku.
“Blender mbak untuk istri dan anak bapak, tapi kok ya uangnya kurang. Kurang 4ribu hehehe....” jawabnya sambil tertawa.
“4ribu????” kami bertiga berpandangan.
“Ya tidak apa-apa nak, besok saja belinya, nanti kalau bapak paksain beli malah gak bisa pulang hehe...”
Lagi-lagi kami terdiam.
“Rumahnya dimana pak?”
“Jalan Parangtritis Mas”
“Wah jauh ya pak, naik apa pak pulangnya?”
“Naik bis jalur 2 mas”
Kami duduk di pinggir jalan, meneruskan perbincangan dengan bapak tua itu.
“Kemocengnya berapa pak harganya?” tanyaku.
“15 ribu mbak”
Kami pun memutuskan membeli 3 kemoceng dengan harga yang lebih dari yang bapak tawarkan itu.
“Ini Pak, kami membeli 3”
“Oh ya, terimakasih Nak” bapak itu segera membuka tas dan mengeluarkan sebuah kantong plastik, ia menyimpan uang-uang itu di sana.
“Tadi bapak habis bayar listrik juga nak, jadi ya tidak cukup untuk membeli blender. Anak saya kan banyak mas, apalagi anak saya yang kuliah kan butuh komputer, belum lagi yang SMA, jadi listriknya habis banyak”
“Owh, kuliah di mana pak?”
“Di Akindo mas, ya biar anak saya tidak jadi orang susah seperti bapaknya ini, jadi ya sebisa mungkin saya kuliahkan”
“Ini mas sama mbaknya kuliah di UGM?”
“Di UNY pak”
“Sudah sampai di sini saja mas, saya mau nunggu bus jalur 2 sambil istirahat, gak usah ditemenin, kalo mas sama mbaknya mau pergi gak apa-apa”.
“Tidak pak, ini kita cuma jalan-jalan kok”
            “Biasanya nunggu bisnya dimana pak?”
            “Biasanya di dekat Panti Rapih mbak”
            “Yasudah ditunggu di sana saja, mari kami antarkan pak. Ini saya bawakan lagi ya pak” kata Hasan.
Aku dan Rani menuntun bapak itu berjalan dan menyebarang sampai depan rumah sakit Panti Rapih.
            Kami menunggu cukup lama di depan Panti Rapih.
“Kalo tidak ada bapak biasanya naik Transjogja sampai Pojok Beteng nak”
“Lalu dari Pojok Betengnya naik bis lagi pak?”
“Iya, kalau tidak becak ya andong, kan nanti banyak yang pulang dari Malioboro, sekitar jam 9an. Kalo tidak yang nanti saya suruh anak saya buat jemput”
Bapak tua itu mengeluarkan sebuah hp kemudian meraba mencari tombol di sebelah kanan bawah yaitu angka 9 dan mendekatkannya ke telinga. Terdengarlah sebuah suara dari hp tersebut.
“Saat ini pukul 17.26.”
“Masih setengah 6 kok Nak, bisnya masih ada. Sebentar lagi pasti lewat.”
Rupanya bapak itu membawa hp untuk mengetahui waktu, agar ia tidak pulang terlambat dan tertinggal bis jalur 2.
***

Setelah menunggu beberapa saat, lewatlah bus jalur 2. Hasan menghentikan bis tersebut, namun pak sopir mengatakan jika ia tidak lagi mengangkut penumpang karena akan pulang ke garasi.
“Apa naik transjogja saja pak?” tanyaku.
“Ya, naik trans juga tidak apa-apa nak”
Hasan kembali memikul sapu dan keset, aku dan rani menuntun bapak itu berjalan menuju shelter Transjogja terdekat.
***

 “Mbak, satu ya, jurusan ke Pojok Beteng untuk bapak itu” kata Hasan kepada penjaga shelter Transjogja.
“Kami pulang ya pak” kata hasan sambil mencium tangan.
“Semoga dagangannya laris, dan bisa membelikan blender untuk anak dan istri bapak’ kataku sambil mencium tangannya.
“Iya pak pamit dulu” kata Rani.
            Kami meninggalkan bapak tua itu di shelter Transjogja. Sore itu kami memang tidak mendapatkan kado ulangtahun untuk Mak’e, tetapi kami mendapat pelajaran yang sangat berharga dari seorang bapak tua pedagang kemoceng. Hari itu, Tuhan mempertemukan kami, membuka mata hati kami agar senantiasa bersyukur dengan apa yang kami miliki. Seperti bapak tua yang tak pernah lelah untuk berjuang demi menghidupi keluarganya. Berdagang kemoceng dan sapu dari Bantul ke pusat kota Jogja, meski dengan keterbatasan dalam penglihatannya.
Aku menyimpan kemoceng yang kubeli dari bapak itu di kamarku, sengaja kugantungkan di sudut kamarku agar aku selalu mengingat pertemuan sore itu. Pertemuan dengan bapak tua yang bersahaja itu menjadi pengalaman tak terlupakan dalam hidupku.
***


#Sumber Gambar : Google

3 komentar:

  1. Subhanalloh ya mas...
    Rizqi dan kesehatan semoga tetap tercurahkan kepada bapak itu. Amin ya rob

    BalasHapus
  2. Hak hak,,, Kowe diundang 'mas' mut,,,, haha...
    Komentar mu tentang kosmetik ki lho,,, kok mak jleb...

    BalasHapus