Jumat, 05 Juli 2013

Seduhan Teh Terakhir untuk Sang Guru Kehidupan

Ku ambil sebuah gelas besar berwarna bening. Ku masukkan gula pasir ke dalam gelas, sedikit saja, saperti apa yang dipesankannya selalu. Kumasukkan the tjatoet dan ku tuang air panas. Sendok kualun perlahan di dalam gelas. Suasana hatiku tergambar di sana, sebuah kepiluan, aku tak ingin perpisahan itu terjadi.
***
15 tahun yang lalu….
            “Mbah, aku mau minum jeruk.”
“Ayo, mbah buatin”
            Langkah kaki kecilku mengikuti sosok lelaki yang ku panggil dengan sebutan Mbah Abub. Namanya Mahbub, tetapi aku memanggilnya Mbah Abub.
            “Mbah, ini cara mengupas jeruknya bagaimana?” tanyaku.
            “Kamu jangan pegang pisau, biar Mbah saja yang mengirisnya. Kamu duduk saja di kursi ya” katanya lembut.
            Lelaki ini begitu dekat denganku sedari kecil. Dia adalah ayah dari ayahku. Kelembutannya kurasakan sejak dulu, sejak aku kecil. Aku adalah cucu kesayangannya karena aku adalah cucu wanita satu-satunya. Mbah Abub tinggal di Purwokerto bersama anak ketiganya. Setiap kali datang ke Jogja, beliau tak pernah melupakan satu hal yang selalu dilakukannya, mengukur tinggi tubuhku di tembok. Mbah Abub akan menandainya dengan pensil. Goresan-goresan tanda pensil itu menjadi bukti seberapa besar cinta beliau kepadaku.
            Saat sore menjelang beliau akan mengajakku ke masjid untuk sholat berjamaah. Beliau akan menungguku keluar dari masjid dan menggandengku ketika pulang. Dalam perjalanan pulang, beliau akan menceritakan tentangku kepada teman-teman jamaah yang lain, beliau begitu bangga denganku.
            “Dia ini pintar sekali Pak, rajin sekali anaknya. Belajarnya tekun, nilainya bagus-bagus” bangganya sambil mengelus kepalaku.
            Sesampainya di rumah, Mbah Abub akan mengambil Al-Qur’an dan mengajariku mengaji. Setiap malam selepas sholat magrib.
            Setiap pagi saat hari libur, beliau mengajakku bersepeda. Memboncengkanku di belakang ataupun membiarkanku mengayuh sepeda dan beliau akan memeganginya agar aku tak jatuh, aku belum bisa naik sepeda kala itu. Sesampainya kerumah beliau akan bertanya, “mau makan apa? Nanti mbah masakin makanan kesukaanmu.” Tidak hanya itu, Mbah Abub yang selalu mengajakku bermain, menemaniku belajar dan memijatku setiap malam sebelum aku tidur.
            Setiap Mbah Abub akan pulang ke Purwokerto, kesedihan yang begitu mendalam akan ku rasakan. Aku akan kehilangan sosok guru, sosok inspirasi, sosok sahabat yang setia menemaniku siang dan malam. Detik perpisahan yang tak pernah kuharapkan menjadi detik paling kubenci dalam hidupmu. Beliau harus meninggalkanku, dan aku harus membesarkan hati untuk dapat menerima kepergiannya.
             “Mbah pulang dulu, nanti bulan depan Mbah datang lagi. Jangan lupa ngaji, jangan lupa belajar, jaga makan jangan sampai telat, dan jangan capek-capek”  Setiap mendengar kata-kata itu, aku hanya bisa terdiam, terbius kata-katanya yang begitu dalam, menyiratkan sebuah kelembutan dan kasih sayang seorang kakek kepada cucunya. Aku mencium tangannya, dan beliau akan pulang. Diam-diam aku selalu menguntitnya dari belakang, menatapnya hingga hilang di kelokan jalan menuju jalan raya. Menatap sosok yang begitu ku kagumi dan kurindukan pergi meninggalkanku. Tak jarang aku menangis ketika melihatnya pergi, aku tak sanggup untuk berpisah dan menantikan detik-detik pertemuan kembali dengannya.
***
            Waktupun berlalu, kini aku telah beranjak dewasa, Mbah Abub pun masih setia untuk mengunjungiku setiap beberapa bulan sekali. Banyak yang berubah dan berbeda darinya, tubuhnya semakin menua, gurat-gurat keriput semakin jelas terlihat di wajahnya. Namun ada yang tidak berubah darinya bahkan malah bertambah, yaitu kasih sayangnya. 
            Beliau masih setia menanyakan “Mau makan apa? Nanti simbah masakin. Simbah saja yang masak kalau kamu capek.”  Setiap sore hari beliau membantuku membersihkan halaman, menyapu dan membakar sampah. Jika aku pulang kuliah terlalu sore dan telihat capek beliau akan mengingatkanku “Jangan capek-capek, jaga kondisi badan, jangan lupa makan.”
            Setiap malam, selepas magrib, tak ada lagi moment indah seperti dulu, beliau tak lagi mengajariku mengaji, namun kini beliau mendengarkanku mengaji  dengan Al Qur’an berwarna merah pemberiannya. “Al-Qur’an itu pemberian simbah. Setiap malam sehabis magrib jangan lupa tadarusan. Jangan pernah lelah untuk berdoa. Setiap malam Mbah berdoa agar apa yang kamu cita-citakan tercapai, hanya doa yang Mbah bisa berikan  untukmu”
            Dalam segala tutur katanya, dalam segala perilakunya beliau mengajarkanku untuk menjadi insan yang baik. Dalam setiap doanya, dalam setiap hela nafasnya selalu tersirat kasih sayangnya kepadaku. Mbah Abub, guru kehidupan yang mengajarkanku dengan kasih sayangnya, dan memberikan teladan dalam setiap langkahnya.
            Wahai sang guru kehidupanku, aku belum bisa membalas apa yang selama ini kau berikan untukku. Hanya seduhan teh ini yang dapat kuberikan. Setiap pagi, siang, sore, dan malam aku setia menyeduhnya untukmu. “Jangan pakai teh celup, gulanya sedikit saja, air panasnya yang banyak” kata-kata yang selalu ku ingat. Kata-kata ini jualah yang akan selalu ku rindukan.
            Seduhan teh pagi ini menjadi seduhan teh terakhir untukmu, karena hari ini jualah kau akan kembali ke Purwokerto. Seduhan teh perpisahan, spesial ku sajikan untukmu, meski aku harus terlambat kuliah pagi ini, tak apa. Aku hanya tak ingin melewatkan moment indah menyeduh teh untukmu.
            Seduhan teh terakhir untuk sang guru kehidupanku. Sampai jumpa di lain waktu, aku akan setia menunggu saat-saat indah bersamamu, aku akan setia menunggu saat-saat menyeduh teh untukmu. Terimakasih guru kehidupanku, hanya seduhan teh ini yang bisa kuberikan kepadamu sebagai balasan atas kasih sayangmu selama ini.
 ***
#Sebuah cerpen yang kupersembahkan untuk kakek tersayang atas segala cinta dan kasihnya. Alhamdulillah menjadi juara II Lomba Menulis Cerpen Inspiratif (LMCI) se-FMIPA tahun 2011. Buku yang berisi 10 karya terbaik itu kukirimkan padanya serta foto di bawah ini. Dan inilah sms beliau ketika selesai membacanya "Cerpene wis tak tampa isinya bagus. Teruskan bakatmu. This day better yesterday." Entah darimana mbah Abub bisa berkata-kata bahasa inggris seperti itu, yang pasti aku bangga memiliki kakek sepertimu. dan aku akan setia menunggu saat-saat bertemu denganmu, merasakan kasih sayangmu, dan menyeduhkan teh untukmu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar