Kemarin Rabu, 5 Januari 2011 menjadi hari paling membosankan bagiku. Entah mengapa rasa-rasanya pingin pergi dari kampus ini, gak betah. Kebosanan itu semakin menjadi-jadi tatkala kuliah praktikum ipa 1 yang schedule hari itu adalah presentasi laporan pertumbuhan tanaman ditinggal molor begitu saja oleh sang dosen. Ahh, aku tak akan membahas tentang itu, aku akan menceritakan perjalanan ku pulang dari kampus ke rumah yang sangat berkesan kemarin.
Sore itu aku pulang sekitar jam 4, tentunya masih dengan mengantongi rasa emosi dan jengkel. Aku pulang naik bis transjogja, sesampainya di shelter tak disangka hari itu aku bareng lagi dengan Christy, teman les ku dulu di Primagama dulu yang belakangan ini ku ketahui dia masih ada hubungan sodara denganku.
Singkat cerita, di dalam bis aku tidak kebagian tempat duduk. Hanya 4 orang yang berdiri saat itu, aku, kondektur bis, dan 2 orang penumpang laki-laki. Ketika sampai shelter di terminal Concat, banyak penumpang yang turun, aku pun segera menduduki kursi di samping Christy yang kebetulan orangnya turun di terminal ini. Banyak penumpang yang turun, banyak pula penumpang yang naik dari shelter ini, berdesak-desakan, senggol sana sini tak peduli dengan orang di depan belakangnya. Ketika hampir semua penumpang sudah naik ke bis, terlihat seorang nenek berkebaya biru dituntun oleh seorang petugas menaiki bis. Karena kursi sudah penuh aku dan Christy mempersilahkan nenek itu duduk di kursi kami, dan akhirnya Christy yang mengalah dan berdiri di dalam bis, sementara si nenek duduk di samping kananku. Awalnya aku tak begitu menghiraukan nenek tua di sampingku ini, sampai akhirnya aku mendengar percakapannya dengan seorang ibu yang duduk di samping kanannya. 'Darimana mbah?' tanya ibu itu. 'Saking rumah sakit Sardjito' jawabnya. 'Piyambakan mawon?' 'Nggih.' 'mboten kalih putrane? Mboten dipapak putrane?' 'Wau niku ajeng dipapak, tapi kula wegah, ndak ngrepoti, opo meneh kondisine koyo ngene (hujan deras+petir). Mesakke. Yo ngrepoti rapopo tapi ojo banget-banget. Mesakke.' Seketika aku menoleh ke nenek tua itu, trenyuh sekaligus kagum akan kata-kata yang diucapkannya. 'Dalemme pundi mbah?' tanya ibu itu lagi. 'Mangkeh mudun sleman kula, terus ngojek ten arah jalan kaliurang'.
Sesampai di terminal Jombor ternyata hujan turun dengan lebatnya disertai dengan kilatan-kilatan petir yang mengerikan. Aku dan Christy terjebak hujan, tak bisa kemana-mana karena kami tak membawa payung. 'Eh, mbah e mau kan meh nang Sleman to?' kata Christy. 'Ho'o, di jak bareng sisan wae yo. Mesakke'. 'Yo'. Aku dan Christy pun menghampiri nenek tua tadi, ia sedang duduk di atas peti kayu. 'Mbah badhe ten sleman? Sareng kula mawon.' 'Owalah iyo nok. Nuwun yo, mbah ne wes diwelasi.' 'Nggih mbah'.
Karena hujan tak kunjung reda, sementara waktu terus beranjak petang, aku dan Christy mulai cemas. 'Piye iki Chris, ra terang-terang, selak sore selak ra ana bis?' 'Ho'o e rul. Ra ana payung e'. 'Kae wes ana Jogtem sih nang kono, tapi udane deres. Nek aku mah nekat wae rapopo kudanan, aku mesake mbah e kae e'. 'Iyo e, nyewo payung wae, paling sewu'. 'Yo, endi ana ra ojek payung?'. Tak berapa lama, seorang lelaki berkumis dan baju basah kuyup menghampiri kami. 'Payung, payung 2000'. 'Ah, mung cedak nang seberang kono kui pak'. 'Yo wis sewu wae tekan kono'. Setelah sepakat dengan harga sewa payung itu, aku menyuruh Christy memanggil nenek tua yang masih duduk di atas peti kayu di dalam shelter itu. 'Mbah, bis e ten mrika, niki wonten payung, sakniki mawon nggih, mangkih nek sampun sonten bis e pun mboten wonten'. 'Yo nok. Maturnuwun mbah ne wes di welasi. Matur nuwun tenan nok'. Aku dan nenek tua itu berjalan menerjang hujan, Christy masih menunggu di shelter karena kami hanya menyewa satu payung saja. Selama berjalan menuju bis Jogtem, nenek tua itu berpegangan erat, memeluk pinggangku sambil tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih.
'Pak, koncoku ijeh nang kono, tulung dibaleni nggo payung iki.' kataku pada pak ojek payung. 'Yo nek ping 2 mbyare dobel' katanya dengan nada sengak. 'Iyo yo, tak bayar 2000 wes' timpalku tak kalah sengak. Sambil menunggu pak ojek payung itu menjemput Christy, aku menyuruh nenek tua itu duduk di kursi tunggu terminal. 'Saking pundhi mbah?' tanya ku basa-basi. 'Saking berobat. Aku ki bar operasi katarak nok.' 'Piyambakan mawon mbah?' "Iyo, aku mau mangkate diboncengke tonggo wetanku cah kuliah. Iki mau yo karepe arep dipethuk baline, tapi aku wegah, mesakke nek nganti tekan sore ngene ki. Ndak ngrepoti.' 'Owh nggih.' "la kowe ki seko ngendi nok?' 'Saking kuliah mbah.' 'Yo mugo-mugo dibales Gusti Allah ya nok, mbah ne wes ditulungi. Mugo-mugo le sekolah lancar.' 'Nggih, amin mbah.' Sesaat kemudian Christy datang, kami bertiga menuju bis Jogtem yang telah mangkal. Nenek tua itu duduk di samping seorang ibu di deretan kursi ketiga, sementara aku dan Christy duduk di belakang sopir sambil berbisik 'Eh mbah e kae mesake yo.' 'Ho'o, bar operasi katarak lo. Dewe an ra ana sek ngeterke.' 'Mbeh e ncen ra gelem diterke ndak ngrepoti jarene'. 'Wah dino iki dewe entuk pelajaran berharga seko mbah e kae.' 'Hu'um'.
Yah, sore itu aku mendapat sebuah pelajaran yang sangat berharga dari seorang nenek tua. "Selagi bisa, selagi masih mampu, lakukanlah sendiri". Nenek tua itu berusaha untuk pulang ke rumahnya sendiri, beliau tidak mau merepotkan orang lain, walaupun tidak tau jalur bis menuju rumahnya, walaupun tidak tau berapa rupiah yang harus dia keluarkan, dan tidak tau jam berapa ia akan sampai di rumahnya. Semua itu dijalaninya dengan sabar dan ikhlas. 'Terimakasih mbah untuk pelajaran berharga ini. Malu rasanya selama ini aku masih sering merepotkan orang lain padahal sebenarnya aku mampu untuk melakukannya sendiri.'
Semoga kelak aku dipertemukan kembali dengan nenek tua yang lupa aku tanya siapa namanya itu untuk mengucapkan beribu terimakasih seperti yang ia ucapkan kepadaku sore itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar