Minggu, 30 Oktober 2011

Pengorbanan Luar Biasa Seorang Bapak Tua


Hari itu, selepas magrib aku berencana pergi ke angkringan Satari yang terkenal enak dan ramai pengunjung di ujung jalan Magelang untuk membeli nasi kucing. Rintik hujan di luar tidak membuatku gentar, aku nekat menerobos hujan tanpa mantel, tanpa payung. Tak peduli jika badanku basah oleh air hujan, toh belum mandi juga, pikirku. 
Kepadatan lalu lintas di jalan raya Jogja Magelang selepas magrib dan air hujan yang turun malam itu, membuat jalanan terlihat samar-samar, ditambah pula mataku yang memang sudah minus. Aku berhenti di depan toko oleh-oleh khas Jogja, menunggu jalanan sepi untuk menyeberang jalan. Samar kulihat dari kejauhan,  seorang wanita berpakaian putih menggenakan payung merah berjalan mendekat ke arahku. Ternyata bu Dar tetanggaku pemilik rumah gedong di samping toko oleh-oleh khas Jogja, beliau baru saja pulang dari masjid. Kami hanya bertatapan kemudian tersenyum, bu Dar pun melanjutkan perjalanannya.
Jalanan masih saja padat, lelah sekaligus bosan menunggu terlalu lama, membuatku hampir putus asa. Ku lirik spion sebelah kiri, mengecek apakah jalanan sudah mulai sepi, ternyata belum. Iseng-iseng kulirik spion sebelah kanan, ku lihat dari pantulan kacanya bu Dar berhenti di sudut toko oleh-oleh khas Jogja. Terlihat di sana, beliau sedang berbincang dengan seseorang. Aku menengok ke belakang, ku lihat 2 buah meja kayu berukuran sedang disambungkan dengan bambu coklat yang panjangnya kira-kira 1 meter yang berfungsi sebagai pikulan untuk membawa meja tersebut. Kemudian ku lirik seseorang di samping meja-meja yang sedang berbincang dengan bu Dar. Sosok lelaki tua berbaju dan bercelana pendek sedang meringkuk kedinginan memegangi kedua lututnya. Terlihat jelas guratan lelah di wajahnya. Cukup lama aku memandangi mereka berdua bercakap-cakap, namun aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Aku melihat bu Dar menunjuk rumahnya dan si bapak tua hanya mengganguk-anggukan kepala, Bu Dar kemudian meninggalkannya. Setelah bu Dar pergi, mbak pemilik salon di samping toko oleh-oleh keluar membawakan segelas teh dan makanan ringan, bapak tua itu terlihat senang menerimanya.
Seketika itu jalanan terlihat sepi, aku segera menyebrang jalan menuju angkringan meninggalkan bapak tua dan mbak pemilik salon. Sesampainya di angkringan pikiranku masih terbayang bapak tua yang kedinginan tadi, pasti bapak itu lapar, maka kuambil sebungkus nasi bungkus, gorengan dan teh hangat  kumasukkan ke dalam kresek hitam.
Sepulang dari angkringan aku menuju berhenti di depan toko oleh-oleh tempat bapak tua tadi berteduh. Hujan yang tadinya turun rintik-rintik kini menjadi semakin deras, aku tak peduli ketika badanku sudah mulai basah kuyup dan menggigil. Ku hampiri bapak tua itu “Rumahnya mana, Pak?” tanyaku sambil tersenyum.  
“Bagaimana mbak? Saya dari GunungKidul"
“Jualan ini Pak?” tanyaku sambil menunjuk dua meja di sampingnya.
“Iya Mbak. Saya jualan meja ini tapi belum laku-laku dari kemarin”
"Naik apa Pak sampai ke Sleman?", aku duduk di samping bapak tua itu.
 "Jalan kaki saja mbak. Dua hari saya jalan kaki dari GunungKidul mbak."
 Aku terperanjat, kaget, tak bias kubayangkan, lelaki setua ini berjalan kaki 2 hari menjajakan 2 buah meja yang dipikulnya dari Gunung Kidul sampai Sleman.
“Ini mau pulang ke Gunung Kidul Pak?"
Kupikir Bapak tua itu akan pulang ke Gunung Kidul naik bis karena malam sudah larut dan hujan turun cukup deras. Tapi jawabannya kali ini kembali membuatku terperanjat dan trenyuh.
“ Tidak mbak, saya pulang ke Gunung Kidul kalau meja ini sudah laku. Anak saya minta uang terus mau buat bayar SPP. Sudah telat beberapa bulan mbak SPPnya.”
"SD, SMP atau SMA Pak?"
"STM mbak"
"Sekolah di mana Pak? "
"Di Wonosari sana Mbak"
Semakin lama mendengar ucapan bapak tua itu semakin membuat ku tak kuat. Bahkan aku hampir lupa dengan nasi dan the hangat yang ku siapkan untuk bapak tua ini.
"Sudah makan Pak?"
"Ya belum mbak, ini saja dua hari tidak laku-laku, mau makan darimana”
“Ini ada nasi dan teh Pak”
“Waduh, terimakasih banyak mbak, terimakasih sekali”
“Iya tidak apa-apa Pak”
“Mejanya dijual berapa Pak?” iseng-iseng aku bertanya, siapa tau harganya murah, bisa ku beli untuk membantu Bapak tua ini.
“Satunya 150 ribu Mbak.”
“Nanti mau bermalam di mana Pak?”
“Ya ini nanti nunggu hujan reda Mbak. Kalau sudah reda nanti ke utara atau tidur di sini juga tidak apa-apa. Seadanya saja Mbak.”
            Ya Allah, mendengar ucapan bapak tua itu membuatku benar-benar merinding. Pengorbanannya berjalan berkilo-kilo meter, berhari-hari, tanpa bekal, rela kedinginan, rela tidur di mana saja, semua itu dilakukan untuk anaknya, agar terus dapat menuntut ilmu. Ku keluarkan dompet dan mengeluarkan beberapa lembar rupiah, uang yang ku punyai hasil  berjualan di kantin kejujuran kampus.
“Pak, ini ada sedikit rezeki. Dibawa saja kalau nanti Bapak butuh beli apa-apa.”
“Terimakasih Mbak, terimakasih sekali. Sembah Nuwun”
“Saya pulang dulu Pak, saya doakan semoga mejanya segera laris”
“Amin Mbak, saya doakan juga semoga Mbaknya diberi kelancaran sekolahnya”
“Amin. Amin, Terimakasih Pak”
Tak terasa airmata mulai menggenangi pipi, tersentuh dengan perjuangan bapak tua itu. Ku tinggalkan bapak tua itu, derasnya hujan tak lagi ku hiraukan.
Hari itu, aku belajar tentang sebuah pengorbanan. Pengorbanan seorang bapak untuk anaknya. Rela berjalan berpuluh-puluh kilo, rela tidak pulang, rela tidak makan, rela tidur di mana saja, rela kedinginan di bawah hujan. Sebuah pelajaran yang sangat berharga untuk kita, pengorbanan orang tua yang begitu besar seringkali tidak kita sadari. Mereka bekerja membanting tulang siang dan malam, sedangkan kita terkadang masih sering mengecewakan dan menyakiti hatinya.
Terimakasih Tuhan, telah mempertemukanku dengan bapak tua itu, ini adalah caraMu menyadarkanku yang terkadang tidak puas dengan apa yang telah Kau beri untukku, yang terkadang masih mengecewakan ayahku. Terimakasih untuk pelajaran yang teramat berharga ini, semoga aku menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Amin :)

 # Ketika sebuah perjuangan berbuah kemenangan. Kisah di atas merupakan naskah kisah inspiratif yang aku ikutkan dalam lomba kisah inspiratif se-DIY UKKI UNY. Sebagai penulis amatiran, rasa pesimis selalu muncul ketika akan mengikuti sebuah perlombaan. "Menang gak ya? Ceritaku kok aneh, jelek, alurnya gak jelas. Bahasanya kaku" kata-kata inilah yang ada di benakku. Namun, ada sebuah kekuatan yang membuatku akhirnya tetap mengirimkan karya ini (baca:nekat). Sejak kekecewaanku pada kompetisi blog HIMA IPA dulu, aku terus mencoba untuk membayar rasa kecewa itu. Ya, saat itu aku bukan semata-mata ingin menang, ingin juara, dipuja-puja, di beri ucapan selamat, bukan, aku tak mencarinya sama sekali. Hanya satu yang aku ingin saat itu, aku ingin memberi sebuah "kebanggaan" pada ayahku. Seumur hidupku, baru satu kali aku mendapatkan thropy, Juara II web-Blog tingkat DIY-Jateng. Setelah itu??? Nol besar. Tak ada prestasi yang dapat dibanggakan dariku. Ayahku, orangnya lebih banyak diam, tak banyak bicara. Ketika aku memperlihatkan IP pertamaku yang di atas 3,5, beliau tak banyak komentar. Mungkin bangga dan dipendamnya saja atau apa, aku tak tahu. Dari itu, kupikir dengan prestasi-prestasi yang berwujud (tropy) mungkin akan membuatnya bangga. Maka dari itu aku berusaha untuk mendapatkannya.
Pertama kali melihat pamflet lomba kisah inspiratif UKKI membuatku membayangkannya setiap akan tidur. Aku akan pulang membawa kemenangan, membawa sebuah thropy rektor (seorang teman pernah mendapatkan tropy rektor, membuatku ingin memilikinya juga). Yah, juara III yang ku incar karena Thropy rektor diberikan untuk sang juara III dalam perlombaan itu.

Saat-saat terakhir pengumpulan aku belum mendapatkan ide sampai beberapa hari menjelang batas pengumpulan. Semalam sebelum batas terakhir hari pengumpulan aku baru mendapatkan 'mood' untuk menulis. Ku tulis kisah pertemuanku dengan bapak tua beberapa waktu lalu. Hingga menjelang malam, tulisan itu belum selesai juga, akhirnya kuputuskan untuk melanjutkannya esok pagi.

Bangun tidur ketika aku ingin meneruskan tulisan itu, laptop sudah dipakai ayahku. Yah, hari itu hari ayahku deadline untuk semua tulisannya. Karena aku juga membutuhkannya, akhirnya kuberanikan diri untuk meminjamnya. Hampir setengah jam aku mengetiknya belum selesai juga, ayahku juga terlihat menunggu laptop itu, akhirnya kusudahi mengetikku pagi itu. Aku memilih untuk mengetiknya di puskom dan memberikan laptop kepada ayahku.

Di puskom hampir satu jam aku mengetik di sana, belum selesai juga, padahal aku harus kuliah. Aku pun sms panitianya, alhamdulillah, jam 5 batas pengumpulan terakhir. Sesampainya di kelas, ternyata kuliah kosong, aku segera berlari ke hima untuk menyelesaikan tulisanku. Sampai sekitar jam 11 tulisan itu belum selesai juga. Dari jam 11-15 aku kuliah. Sepulang kuliah, kembali ku teruskan tulisanku, yah, aku mengetiknya di hima sampai sekitar pukul 16.45. Detik-detik terakhir pengumpulan, masih harus nge-print dulu, 10 menit. Jalan ke SC, 5 menit. Yah, tepat pukul 17.00 aku mengumpulkannya. Kulihat di sana banyak naskah yang sudah dikumpulkan, aku nomor33. dari sampul dan judulnya saja sudah membuatku pesimis. Tulisanku, ku beri judul seadanya. Semuanya serba terburu-buru.
Sejak sore itu, aku tak berani lagi membayangkan akan pulang membawa piala kemenangan itu untuk ayahku. Ku buang jauh-jauh keinginan itu, yah aku harus mempersiapkan hati sebelum aku kecewa, lebih aku tidak berharap, pasrah saja, yang penting punya pengalaman.
Sampai akhirnya aku melihat pengumuman pemenang lomba di salah satu note teman yang juga panitia. Ku buka dengan perasaan biasa saja, karena aku memang sudah tak berharap. Sampai akhirnya..........

Alhamdulillah, namaku terpampang di sana.
Ayah, kemenangan ini untukmu :)
                                                                                           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar