Minggu, 30 Oktober 2011

Sumpah Pemuda Bukan Sampah Pemuda

Article and Blog Competition HIMA ADP UNY 2011

”Berilah aku seratus orang tua. Dengan seratus orang tua ini aku akan memindahkan Gunung Semeru. Tetapi, beri aku sepuluh pemuda, karena dengan mereka aku akan mengguncangkan dunia”
            Inilah kata-kata yang diucapkan oleh Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia kita. Tidak hanya di mata Soekarno, masyarakat pun memandang pemuda memiliki ‘nilai lebih’ dari yang lainnya. Apa penyebabnya? Mari kita tilik bersama-sama, apa saja yang pernah dilakukan pemuda hingga ia  begitu ‘dipuja’ di mata Soekarno dan rakyatnya.
            Masih ingatkah kita dengan perjuangan para pemuda atau disebut golongan muda di masa lalu ketika mendesak hingga akhirnya nekat menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok, agar mempercepat proklamasi kemerdekaan Indonesia. Aksi ini berbuah manis dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Soekarno membacakan teks proklamasi
Pada tahun 1966,  para pemuda bersatu menggabungkan diri dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) menuntut Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintah yang akhirnya ‘menggulingkan’ Soekarno dari kursi kekuasaannya dan berpindah di tangan Soeharto. 
Tahun 1998, mahasiswa dari seantero negeri turun ke jalan untuk menuntut adanya reformasi. Aksi ini memuncak pada aksi pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia. Soeharto akhirnya mundur dan digantikan oleh wakilnya saat itu, yaitu B.J. Habibie. 

Aksi mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR
3 contoh aksi mahasiswa di atas menjadi sebuah bukti mengapa pemuda dipandang ‘lebih’ oleh Soekarno dan rakyat. Pemuda seringkali disebut ‘agent of change’ atau agen perubahan yang dapat memberikan kontribusi besar bagi kemajuan bangsanya. Ketiga contoh aksi di atas menggambarkan potret pemuda di masa lalu. Bagaimana dengan pemuda di masa kini???
            Tidak jauh berbeda dengan pemuda di masa lalu, pemuda masa kini juga sering melakukan aksi, namun tidak jarang aksi tersebut dibarengi anarkisme. Pemuda saat ini lebih suka mengkritik pemerintah, berkoar-koar sambil turun ke jalan, hanya berani ‘ngomong’ tanpa ada tindakan positif untuk merubahnya. Ini yang membuat rakyat tidak lagi member nilai lebih kepada mereka. Pemuda yang katanya orang berpendidikan namun perilakunya tidak mencerminkan orang berpendidikan.
Lalu seberapa banyak pemuda yang tidak turun ke jalan atau memilih diam saja mengacuhkan nasib bangsanya yang berada di ujung tanduk? Tak ingatkah mereka dengan perjuangan para pemuda dahulu? Tak ingatkah mereka dengan SUMPAH PEMUDA yang menjadi titik awal sebuah kebangkitan pemuda di negeri ini?
Jawabannya ada pada diri kita masing-masing. Lihat diri kita, seberapa besar kontribusi yang sudah kita berikan untuk bangsa ini. Seberapa dalam makna SUMPAH PEMUDA itu mendarah daging dalam diri kita. Seberapa besar pengabdian kita kepada negeri ini. Jangan biarkan diri kita menjadi SAMPAH PEMUDA. Tak tahu apa yang harus dilakukan untuk negeri ini. Tidak malukah kita dengan pendahulu-pendahulu kita?
Tidak harus dengan aksi turun ke jalan, tidak harus dengan aksi menduduki gedung DPR/MPR, tidak harus bertindak anarkis, bukan jamannya lagi seperti itu. Banyak yang bisa kita lakukan, tanpa modal, tanpa uang. Misalnya saja, sebagai mahasiswa UNY yang mayoritas adalah para calon guru, mengapa kita tidak memberikan pendidikan gratis untuk anak-anak kurang mampu, tidak turun membantu mencerdaskan generasi-generasi negeri ini. Tidakkah jiwa kita terpanggil melihat kondisi pendidikan di negeri ini?
Maka dari itu, marilah kita berikan sesuatu untuk Indonesia ini. Dimulai dari hal kecil, dimulai dari diri sendiri, dan mulailah sekarang juga. Bukan jamannya lagi SUMPAH PEMUDA hanya kita baca saat mata kuliah kewarganegaraan dan pancasila. Inilah saatnya kita menjadikan SUMPAH PEMUDA sebagai lecutan semangat untuk membangun Indonesia lebih baik lagi.


Pengorbanan Luar Biasa Seorang Bapak Tua


Hari itu, selepas magrib aku berencana pergi ke angkringan Satari yang terkenal enak dan ramai pengunjung di ujung jalan Magelang untuk membeli nasi kucing. Rintik hujan di luar tidak membuatku gentar, aku nekat menerobos hujan tanpa mantel, tanpa payung. Tak peduli jika badanku basah oleh air hujan, toh belum mandi juga, pikirku. 
Kepadatan lalu lintas di jalan raya Jogja Magelang selepas magrib dan air hujan yang turun malam itu, membuat jalanan terlihat samar-samar, ditambah pula mataku yang memang sudah minus. Aku berhenti di depan toko oleh-oleh khas Jogja, menunggu jalanan sepi untuk menyeberang jalan. Samar kulihat dari kejauhan,  seorang wanita berpakaian putih menggenakan payung merah berjalan mendekat ke arahku. Ternyata bu Dar tetanggaku pemilik rumah gedong di samping toko oleh-oleh khas Jogja, beliau baru saja pulang dari masjid. Kami hanya bertatapan kemudian tersenyum, bu Dar pun melanjutkan perjalanannya.